Tuesday, August 29, 2017

AGAMA ISLAM "IHTISAN"

PENGERTIAN ISTIHSAN

            Secara istilah, ulama beragama dalam mendefinisikan eseninya hampir memiliki kesamaan. Berikut ini beberapa definisi istihsan oleh para ulama :
  1. ·         Menurut Jasim Muhalhil, istihsan adalah meninggalkan / mengalihkan hasil qiyas menuju/mengambil qiyas lain yang lebih kuat darinya.
  2. ·         Menurut Al-Fairuz Abadi, istihsan adalah mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/menyeluruh.
  3. ·         Menurut Al-Jayzaz, istiihsan adalah beralihnya seseorang dari menghhukumkan suatu masalah dengan yang serupa karena adanya kesamaan hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama.
  4. ·         Menurut Al-Qorofi, istihsan adalah meninggalkan satu ijtihad yang tidak mencakup selluruh lafaznya karena pertimbangan yang lebih kuat darinya.
  5. ·         Menurut Ibnu Arobi, istihsan itu memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengecualian, rukhsoh dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya bertentangan.
  6. ·         Menurut Imam Syafi’i, pendapat yang tidak bersandarkan kepada keterangan dari salah satu syarak, yaitu al-qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas.


Dari beberapa definisi istihsan di atas, nampak setiap ulama berbeda dalam mendefinisikannya sekalipun ada beberapa sisi yang memiliki kemiripan. Seperti hubungannya istihsan dengan qiyas. Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut ulama ushul fiqh, istihsan adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’, menuju (menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.







KEDUDUKAN ISTIHSAN
                            
            Kedudukan istihsan adalah sebagai sumber hukum islam. Namun, ada yang menganggap istihsan bukan sebagai sumber hukum.
1.      Pihak yang menganggap istihsan sebagai sumber hukum. Imam Hanafi dn Imam Malik tidak terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah Mursalah, sehingga beliau menyatakan bahwa isthsan telah merambah sampai 9/10 ilmu fiqih. Adapun alasan yang dikemukakan :
·         Azzumar ayat 18 yang artinya “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
2.      Pihak yang menganggap istihsan bukan sebagai sumber hukum. Imam Syafi’i menyatakan bahwa haram bagi seseorang untuk menyatakan sesuatu atas dasar istihsan, karena istihsan hanyalah talazzuz. Beliau berkata “barang siapa yang beristihsan maka ia telah membuat syariat.” Menurut beliau tidak boleh seorang hakim atau mufti menghukumi atau berfatwa kecuali dengan dalil yang kuat yang bersumber dari kitabullah, sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan. Tidak boleh menetapkan hukum/fatwa dengan istihsan. Bahkan ada di kalangan Asy Syafi’iyah secara ekstrim mengkafirkan. Adapun alasan yang dikemukakan :
·         Mengikuti hukum Allah dan RosulNya atau qiyas yang berlandaskannya. Olh karena itu, hukum berasal dari istihsan adalah produk manusia yang hanya berdasarkan pertimbangan citra rasa dan kesenangan belaka.
·         Unntuk kembali pada qiyas apabila kita berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti firmanNya dalam Annisa ayat 59 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RosulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-qur’an) dan rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”



                  
FUNGSI ISTIHSAN

Mempelajari istihsan bisa digunakan sebagai sarana untuk memperoleh hukum – hukum syara’ tentang perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci. Hal tersebut sangat diperlukan bahkan dapat dikatakan inilah kegunaan yang pokok, karena meskipun para ulama terdahulu telah berusaha untuk mengeluarkan hukum dalam berbagai persoalan.
           
            Serta dapat digunakan sebagai tujuan untuk mengetahui mana yang merupakan kebenaran dan mana yang merupakan keburukan, walaupun istihsan tersebut tidak digunakan oleh semua ulama, karena istihsan dianggap sebagai produk manusia. Tetapi, tetap ada juga yang menggunakan istihsan sebagai sumber hukum dan disertai dengan alasan mereka.



















MACAM-MACAM ISTIHSAN

            Istihsan dipandang dari berbagai segi banyak macamnya. Hal ini dapat dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya, adakalanya dari segi sandaran atau dasar yang diikutinya saat beralih dari qiyas.
1)      Dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya istihsan, terbagi menjadi 3 yaitu :
·         Berpindah dari apa yang dituntut oleh qiyas zahir (jali) kepada yang dikehendki oleh qiyas khafi. Artinya pentarjihan qiyas khafi(yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata) karena ada suatu dalil.
·         Berpindah dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hhukum yang bersifat khusus.
·         Pengecualian juziyyah dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.
2)      Ditinjau dari segi sandaran / dalil yang menjadi dasar dalam peralihan dari qiyas, maka istihsan ada 6 macam :
·         Istihsan yang sandarannya nash.
·         Istihsan yang sandarannya ijma’.
·         Istihsan yang sandarannya urf (adat).
·         Istihsan karena darurat.
·         Istihsan yang sandarannya qiyas khafi.
·         Istihsan yang sandarannya maslahah.
3)      Ulama ushul dari kalangan maliiyah dikenal pula istihsan yang dalam prakteknya dinamai dengan istislah. Dari hal ini mereka membagi istihsan menjadi 3 macam :
·         Meninggalkan dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan urf (kebiasaan).
·         Meninggalkan dalil yang biasa digunakan dan beramal dengan cara lain karena pertimbangan kemaslahatan manusia.
·         Meninggalkan dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberi kemudahan kepada umat.



CONTOH ISTIHSAN

Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk diwaqafkan adalah pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Sebab kalaua menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual beli yang penting adalah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.
Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang keada penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf, yag penting dari waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya bisa dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual belli, maka tujuan waqaf tidak tercapa, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena perlu dicari asalnya yang lain yaitu sewa-menyewa.
Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illat-nya yaitu mengutamakanmanfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi. Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf , maka dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi yang diseut istihsan.
Contoh lainnya :
Menurut Madzhab Hanafi, sisa minuman burung buas, seperti elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan istihsan.
Padahal seharusnya kalau menurut qiyas, sisa minuman binatang buas seperti anjing dan burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya.
Sedangkan menurut qiyas khafi, burung buas itu berbeda mullutnya dengan mullut binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri atas tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara oleh paruhnya demikian pula air liurnya.

Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada burung buas yang membedakannya dengan binatang buas . berdasar keadaan inilah ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi yang disebut istihsan.

0 comments:

Post a Comment