PENGERTIAN
ISTIHSAN
Secara istilah, ulama beragama dalam
mendefinisikan eseninya hampir memiliki kesamaan. Berikut ini beberapa definisi
istihsan oleh para ulama :
- · Menurut Jasim Muhalhil, istihsan adalah meninggalkan / mengalihkan hasil qiyas menuju/mengambil qiyas lain yang lebih kuat darinya.
- · Menurut Al-Fairuz Abadi, istihsan adalah mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/menyeluruh.
- · Menurut Al-Jayzaz, istiihsan adalah beralihnya seseorang dari menghhukumkan suatu masalah dengan yang serupa karena adanya kesamaan hal yang berbeda karena pertimbangan yang lebih kuat yang mengharuskan beralih dari yang pertama.
- · Menurut Al-Qorofi, istihsan adalah meninggalkan satu ijtihad yang tidak mencakup selluruh lafaznya karena pertimbangan yang lebih kuat darinya.
- · Menurut Ibnu Arobi, istihsan itu memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengecualian, rukhsoh dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya bertentangan.
- · Menurut Imam Syafi’i, pendapat yang tidak bersandarkan kepada keterangan dari salah satu syarak, yaitu al-qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas.
Dari
beberapa definisi istihsan di atas, nampak setiap ulama berbeda dalam
mendefinisikannya sekalipun ada beberapa sisi yang memiliki kemiripan. Seperti
hubungannya istihsan dengan qiyas. Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut ulama
ushul fiqh, istihsan adalah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu
peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasarkan dalil syara’, menuju
(menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga yang mengharuskan
untuk meninggalkannya. Dalil yang terakhir disebut sandaran istihsan.
KEDUDUKAN ISTIHSAN
Kedudukan istihsan adalah sebagai
sumber hukum islam. Namun, ada yang menganggap istihsan bukan sebagai sumber
hukum.
1. Pihak
yang menganggap istihsan sebagai sumber hukum. Imam Hanafi dn Imam Malik tidak
terlalu membedakan antara istihsan dengan Maslahah Mursalah, sehingga beliau
menyatakan bahwa isthsan telah merambah sampai 9/10 ilmu fiqih. Adapun alasan
yang dikemukakan :
·
Azzumar ayat 18 yang
artinya “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
diantaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan
mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
2. Pihak
yang menganggap istihsan bukan sebagai sumber hukum. Imam Syafi’i menyatakan
bahwa haram bagi seseorang untuk menyatakan sesuatu atas dasar istihsan, karena
istihsan hanyalah talazzuz. Beliau berkata “barang siapa yang beristihsan maka
ia telah membuat syariat.” Menurut beliau tidak boleh seorang hakim atau mufti
menghukumi atau berfatwa kecuali dengan dalil yang kuat yang bersumber dari
kitabullah, sunnah, ucapan ulama yang tidak diperdebatkan. Tidak boleh
menetapkan hukum/fatwa dengan istihsan. Bahkan ada di kalangan Asy Syafi’iyah
secara ekstrim mengkafirkan. Adapun alasan yang dikemukakan :
·
Mengikuti hukum Allah
dan RosulNya atau qiyas yang berlandaskannya. Olh karena itu, hukum berasal
dari istihsan adalah produk manusia yang hanya berdasarkan pertimbangan citra
rasa dan kesenangan belaka.
·
Unntuk kembali pada
qiyas apabila kita berselisih paham, bukan kepada hawa nafsu. Seperti firmanNya
dalam Annisa ayat 59 “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
RosulNya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-qur’an) dan rosul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
FUNGSI ISTIHSAN
Mempelajari istihsan bisa digunakan sebagai sarana
untuk memperoleh hukum – hukum syara’ tentang perbuatan dari dalil-dalilnya
yang terperinci. Hal tersebut sangat diperlukan bahkan dapat dikatakan inilah
kegunaan yang pokok, karena meskipun para ulama terdahulu telah berusaha untuk
mengeluarkan hukum dalam berbagai persoalan.
Serta dapat digunakan sebagai tujuan
untuk mengetahui mana yang merupakan kebenaran dan mana yang merupakan
keburukan, walaupun istihsan tersebut tidak digunakan oleh semua ulama, karena
istihsan dianggap sebagai produk manusia. Tetapi, tetap ada juga yang
menggunakan istihsan sebagai sumber hukum dan disertai dengan alasan mereka.
MACAM-MACAM
ISTIHSAN
Istihsan dipandang dari berbagai segi
banyak macamnya. Hal ini dapat dilihat dari segi dalil yang ditinggalkan dan
dalil yang dijadikan gantinya, adakalanya dari segi sandaran atau dasar yang
diikutinya saat beralih dari qiyas.
1) Dilihat dari segi dalil yang
ditinggalkan dan dalil yang dijadikan gantinya istihsan, terbagi menjadi 3
yaitu :
·
Berpindah
dari apa yang dituntut oleh qiyas zahir (jali) kepada yang dikehendki oleh
qiyas khafi. Artinya pentarjihan qiyas khafi(yang tersembunyi) atas qiyas jali
(nyata) karena ada suatu dalil.
·
Berpindah
dari apa yang dituntut oleh nash yang umum kepada hhukum yang bersifat khusus.
·
Pengecualian
juziyyah dari suatu hukum kulli (umum) dengan adanya suatu dalil.
2) Ditinjau dari segi sandaran / dalil yang
menjadi dasar dalam peralihan dari qiyas, maka istihsan ada 6 macam :
·
Istihsan
yang sandarannya nash.
·
Istihsan
yang sandarannya ijma’.
·
Istihsan
yang sandarannya urf (adat).
·
Istihsan
karena darurat.
·
Istihsan
yang sandarannya qiyas khafi.
·
Istihsan
yang sandarannya maslahah.
3) Ulama ushul dari kalangan maliiyah dikenal
pula istihsan yang dalam prakteknya dinamai dengan istislah. Dari hal ini
mereka membagi istihsan menjadi 3 macam :
·
Meninggalkan
dalil yang biasa digunakan untuk beramal dengan urf (kebiasaan).
·
Meninggalkan
dalil yang biasa digunakan dan beramal dengan cara lain karena pertimbangan
kemaslahatan manusia.
·
Meninggalkan
dalil yang biasa dilakukan untuk menghindarkan kesulitan dan memberi kemudahan
kepada umat.
CONTOH ISTIHSAN
Menurut madzhab Abu Hanifah, bila seorang mewaqafkan
sebidang tanah pertanian, maka dengan menggunakan istihsan, yang termasuk
diwaqafkan adalah pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan
sebagainya. Sebab kalaua menurut qiyas (jali), hak-hak tersebut tidak mungkin
diperoleh karena tidak boleh mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli. Pada jual
beli yang penting adalah pemindahan hak milik dari penjual kepada pembeli. Bila
waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang penting ialah hak milik itu.
Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh
dengan mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa. Pada sewa-menyewa yang
penting ialah pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang keada
penyewa barang. Demikian pula halnya dengan waqaf, yag penting dari waqaf ialah
agar barang yang diwaqafkan itu dapat dimanfaatkan. Sebidang sawah hanya bisa
dimanfaatkan jika memperoleh pengairan yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan
kepada jual belli, maka tujuan waqaf tidak tercapa, karena pada jual beli yang
diutamakan pemindahan hak milik. Karena perlu dicari asalnya yang lain yaitu
sewa-menyewa.
Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illat-nya yaitu
mengutamakanmanfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi.
Karena ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf , maka
dilakukanlah perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi yang diseut
istihsan.
Contoh
lainnya :
Menurut Madzhab Hanafi, sisa minuman burung buas,
seperti elang, burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal
ini ditetapkan dengan istihsan.
Padahal seharusnya kalau menurut qiyas, sisa minuman
binatang buas seperti anjing dan burung buas adalah haram diminum karena sisa
minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada
dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air
liurnya masuk ke tempat minumnya.
Sedangkan menurut qiyas khafi, burung buas itu
berbeda mullutnya dengan mullut binatang buas. Mulut binatang buas terdiri dari
daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang
terdiri atas tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis. Karena itu sisa
minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab
diantara oleh paruhnya demikian pula air liurnya.
Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada
burung buas yang membedakannya dengan binatang buas . berdasar keadaan inilah
ditetapkan perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi yang disebut
istihsan.






0 comments:
Post a Comment